Tari
Pakarena
Dalam perkembangan peradaban manusia dari masa ke masa,
keadaan lingkungan alam dan lain-lain sebagainya, adalah beberapa hal yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat dari suatu bangsa. Sebagian
perkembangan ini, dapat kita temu dengan adanya tata cara hidup dalam kehidupan
manusia. Demikian melalui sejarah kesenian kebudayan Sulawesi Selatan. Dewata
ini, dikenal berbagai macam kesenian yang kesemuanya ini adalah merupakan satu
pertanda bahwa betapapun, masyarakat Sulawesi Selatan telah pula bangkit, atau
mengikuti perkembangan dunia, lewat kesenian kebudayaannya yang mana salah satu
dari sekian banyak hal-hal yang dapat menunjang terwujudnya kemajuan bangsa.
Ditinjau dari segala segi, utamanya pengaruh keadaan, lingkungan, kini dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa Tari Pakarena yang pada mulanya merupakan tarian
pemujaan dimana keyakinan manusia pada masa lampau bergantung kepada alam tak
nyata atau alam gaib, dimana tari adalah merupakan salah satu cara untuk
menyampaikan hasrat atau keinginan akan berhasilnya sesuatu yang diinginkan,
persembahan seperti ini hamper sama, yakni ketika manusia masih hidup dalam
kehidupan alam primitive. Bahwa pernyataan gerak adalah lambing komunikasi
manusia antara manusia, utamanya kepada Dewata atau Batara.
Kemudian setelah masuknya agama Islam di daerah (Rumpun yang
memelihara tari Pakarena, antara lain; Gowa, Bantaeng, Jeneponto, Selayar,
Takalar). Tari Pakarena ini telah menjadi tari adat, dimana tari tersebut hidup
dan berkembang dalam lingkungan istana yaitu diadakan pada upacara-upacara
adat. Hingga dengan pesatnya perkembangan Kerajaan Gowa, sejak Tumanurung
merajai Butta Gowa (Daerah Gowa) sampai saat pemerintahan Sultan Hasanuddin
menjadi raja. Tamu-tamu terhormat dan tarian ini tetap terpelihara dalam istana.
Tarian Sulawesi Selatan
Tari Pakarena dari Gowa sejarah tentang terciptanya menurut
orang-orang tua dahulu kala, jauh sebelum agama Islam masuk di daerah Gowa,
terjadilah kisah seperti ini untuk mengenakan dan mengingat-ingat orang-orang
dahulu kala atau nenek moyang dimana dikatakan bahwa suatu ketika
makhluk-makhluk yang ada dikayangan dan yang berada di bumi tidak akan bertemu
lagi. Olehnya itu perlu memberikan satu petunjuk-petunjuk lagi manusia pada
zaman itu dan pada zaman yang akan datang.
Manusia-manusia dikayangan mengajarkan pada penduduk bumi
bagaimana caranya bekerja seperti menjaga anak, memintai benang, bersahabat/bermasyarakat
dan lain-lain. Kesemuanya ini dilakukan dengan gerakan dan dengan
gerakan-gerakan ini maka terciptalah tari “Tari Pakarena”.
Macam Gerakan Tari Pakarena:
- Sambori’na (berteman)
- Ma’biring kassi’ (bermain ditepi pantai)
- Anging kamalino (angin tanpa berhembus)
- Digandang (berulang-ulang)
- Jangan lea-lea (ayam yang mundur-mundur sementara berkelahi)
- Iyale’ (sebelum menyanyi ada seperti aba-aba) nyanyian tengah malam
- So’naya (yang bermimpi)
- Lambbasari (hati timur)
- Tari Pajaga Luwu
Tari Pajaga
Seperti kita maklumi bahwa sebelum agama Islam masuk
kerajaan Luwu (sebelum tahun 1604) maka yang dianut oleh masyarakat Luwu adalah
agama Animisme. Agama yang mempercayai banyak dewa. Menurut kebudayaan bahwa
seni lahir dari agama setelah pada satu tingkat kebudayaan, manusia percaya
pada adanya dewa-dewa. Tarian Sulawesi Selatan
Mereka melakukan kultus sebagai pernyataan hubungan dan
pengabdiannya kepada dewa-dewa itu, menggerakkan hati dewa-dewa agar dewa-dewa
tersebut mengabulkan permohonan-permohonan mereka. Dan dilakukan tari-tarian
untuk menyenangkan untuk mengambil hati dewa-dewa. Tari lahir gerak keasikan
pemujaan dan permohonan, seterusnya agar tari tertentu dalam iramanya, ia
diiringi dengan tabuhan suara bunyi-bunyian, yang berkembang menjadi seni
music.
Demikianlah sejarah timbulnya Tari Pajaga semasa Batara Guru
I menjadi Pajung (Raja) di Luwu oleh beliau disuruhlah mencipta satu tarian
sebagai suatu pemujaan kepada dewa-dewa dalam memenuhi permohonan manusia dan
agar gerak itu mempunyai irama yang tetap maka gerak itu diiringi oleh nyanyian
dan tabuhan gendang.
Sampai pada saat ini seni tari Pajaga itu, demikian pula
dengan alat yang mengiringinya belum banyak mengalami perubahan atau dengan
kata lain masih mendekati keaslian. Tarian Sulawesi Selatan
Asal mulanya sehingga tari ini diberi nama Pajaga. Dalam
peningkatan kepercayaan rakyat Luwu dan setelah masuknya agama Islam di Luwu
sehingga agama Islam pada itu menjadi agama kerajaan Luwu (tahun 1604). Maka
tari ini tidak lagi menjadi tari yang menjadi hiburan raja-raja bahkan menjadi
tari penghormatan kepada tamu-tamu raja yang datang ditarikan pada saat
tertentu, seperti pada upacara kerajaan. Oleh karena tari tersebut sering
Tari Pattudu.
Dahulu kala anak raja yang berdiam pada suatu gunung dengan
beserta hamba sahayanya. Dikeliling rumahnya terdapat mata air dan kebun
bunga-bungaan yang sangat suburnya. Pada suatu ketika anak raja itu pergi
berburu dan tiba-tiba disuatu tempat yang namanya Peda-peda terdengar olehnya
suara gadis-gadis yang sementara menyanyi dari atas gunung, maka anak raja
tersebut mendatangi tempat itu dan nampaklah olehnya tujuh gadis yang rupawan
sementara menari-menari di antara pohon bunga-bungaan. Timbullah keinginan
dalam hati anak raja untuk menjadikan permaisuri dari salah seorang gadis-gadis
tersebut. Maka dicarilah jalan bagaimana agar maksudnya dapat tercapai.
Setelah beberapa hari, hal tersebut di atas nampaknya selalu
berulang-ulang sedangkan anak raja telah mengetahui pula bahwa setelah
gadis-gadis itu selesai menari, juga mereka pergi mandi disuatu kali yang tidak
jauh dari bunga-bungaan, dan pada waktu mereka mandi adalah sudah menjadi
kebiasaan tak selembarpun benang yang menyertai tubuh mereka. Dan demi
tercapainya maksud sang anak raja maka timbullah keinginannya mengambil pakaian
salah seorang diantara gadis-gadis itu. Dan setelah ia berhasil, ternyata
pakaian yang ia peroleh adalah kepunyaan Putri Bungsu sedangkan gadis-gadis
lainnya yang luput dari kejadian itu, terpaksa meninggalkan saudaranya yang
tidak dapat lagi terbang balik ke kayangan.
Tinggalah sang putri bungsu dan ia dijadikan permaisuri sang
anak raja. Resepsi perkawinan sang raja dengan sang putri Bungsu (Putri
Kayangan) dilaksanakan dengan cara pesta adat kerajan dimana harus diadakan
tari-tarian sesuai dengan gerakan-gerakan tari yang dimainkan oleh putri-putri
kayangan ketika bermain-main di atas pohon bunga-bungaan.
Tarian yang dimainkan inilah yang dinamai Pattudu. Tarian
Pattudu pada dahulu kala oleh raja Todilaling (Arajang Balannipa-I). dibawah
turunan ke daerah Napo untuk dijadikan tarian khusus pada upacara-upacara adat
dan juga pada penyembahan dewa. Setelah masuknya agama Islam di tanah Mandar,
maka oleh Raja Tomatino di Limboro(Arajang Balannipa ke-14) mengubah fungsi
tarian itu menjadi tarian hiburan raja-raja pada pesta adat pelantikan
raja-raja dan lain-lain. Jumlah penari yang memainkan tarian ini
sekurang-kurangnya enam orang. Tarian Sulawesi Selatan.